Ruby

Sabtu, 24 Januari 2015

Lokomotif Uap di Indonesia

C21

C21
C21 (SS 114)

           Lokomotif C21 adalah lokomotif uap buatan pabrik Krauss, Jerman. Lokomotif ini memiliki berat 19,55 ton, daya mesin 205 hp, dan kecepatan maksimum 30 km/jam. Lokomotif ini bersusunan roda 0-6-0, yakni memiliki tiga gandar penggerak (6 roda). Lokomotif ini memiliki nomor lama BDSM 9-10 (SS 113 dan 114) dan MSM 11-16.




Sejarah

         Dua perusahaan kereta api swasta, Modjokerto Stoomtram Maatschappij (MSM) dan Babat-Djombang Stoomtram Maatschappij (BDSM) diberikan konsesi izin pembangunan perkeretaapian oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1895-1896. Kedua jalur milik perusahaan tersebut terhubung oleh jalur Staatsspoorwegen yaitu jalur Porong-Gempol-Gunung Gangsir-Bangil dan jalur Sidoarjo-Tarik-Mojokerto-Jombang. Selain itu, terhubung pula dengan jalur Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij yakni Surabaya Pasar Turi-Babat-Cepu.
          Konstruksi pertama MSM adalah jalur kereta api Mojokerto-Gempol via Bangsal dan Japanan (38 km) dan dibuka tahun 1898. MSM berhasil membangun jalur sejauh 78 km. Sementara itu, BDSM membangun jalur kereta api Jombang-Babat (1899-1902, 69 km) dan membuat jalur cabang dari Stasiun Ploso menuju Pabrik Gula Ponen (1913, 2 km). BDSM kemudian mengimpor dua buah lokomotif (yang kelak diberi nomor) C21, sedangkan MSM 6 unit.
           Karena kesulitan keuangan, maka kedua lokomotif BDSM diambil alih oleh SS tahun 1916. Saat ini tersisa C2102 dan C2103. C2102 merupakan lokomotif milik BDSM kini disimpan di kompleks pabrik PT Inka Madiun dalam keadaan komponen-komponennya tidak lengkap lagi. Sementara itu, C2103 (milik MSM) dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah.



C23

C23 
 Lokomotif C2301 di Lawang Sewu.
          Lokomotif C23 adalah lokomotif uap buatan pabrik Hartmann, Jerman. Lokomotif ini dimiliki oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij. Lokomotif ini bergandar 0-6-0T, artinya memiliki tiga gandar penggerak (enam roda). Lokomotif ini memiliki dua silinder berdimensi 340×400 mm, diameter roda 1.050 mm, berat 25 ton, dan dapat melaju hingga 55 km/jam. Lokomotif ini dahulunya diberi nomor NIS 263.

Sejarah

          Pada tahun 1893, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan rencana induk perkeretaapian. Rencana induk ini menghasilkan kebijakan untuk membagi jalur kereta api menjadi dua bagian, yakni jalur trem (jarak dekat) dan jalur kereta api (jarak jauh). Pada masa itu juga, Undang-Undang tentang pembuatan jalan rel telah dikeluarkan, sehingga dalam hal mengembangkan jalur trem, peran serta swasta sangatlah diperlukan, sehingga tidak hanya Pemerintah saja yang mengembangkan jalur kereta api.
           Sementara itu, di Kota Solo, pada tahun 1892, berdiri perusahaan kereta perkotaan swasta, Solosche Tramweg Maatschappij (SoTM) yang pertama kalinya mengelola jalur Purwosari-Boyolali dan selanjutnya beroperasi di wilayah Kota Solo. SoTM mengoperasikan trem yang ditarik kuda. Jalur ini kemudian diambil alih oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij pada rentang tahun 1905-1908. Pada saat itu juga, terjadi perpindahan dari tenaga kuda menjadi tenaga uap.
            Lokomotif C23 hanya diimpor satu buah dari pabrik Hartmann, Jerman, bersama dengan pengimporan satu buah lokomotif C18. Mulai operasi tahun 1908, lokomotif ini didatangkan untuk menggantikan keberadaan trem kuda di Kota Solo. Dengan demikian keberadaan lokomotif uap sangat mengubah moda transportasi yang awalnya tradisional menjadi modern. Banyaknya penumpang yang mempergunakan kereta api mengakibatkan perekonomian Kota Solo terus berkembang dan meningkat. Meskipun lokomotif C23 dan C18 memiliki bentuk yang mirip, namun C23 masih menggunakan uap basah (tidak memakai superheater). Lokomotif ini dapat menggunakan bahan bakar kayu jati maupun batu bara.
             Kini C23 sejak awal beroperasinya hanya satu buah yakni C2301. Pada tahun 1969, C2301 dialokasikan di dipo lokomotif Gundih. Kini, C2301 dipajang di depan Lawang Sewu, Kota Semarang.



C28

C28
Lokomotif C28
          Lokomotif uap C28 merupakan salah satu yang terpopuler di Indonesia. Hal ini dikarenakan lokomotif ini biasanya digunakan untuk melayani kereta-kereta cepat kelas ekpress dengan kecepatan mencapai 95 km/h. Bahkan pada tahun 1920. Lokomotif uap ini dinobatkan sebagai lokomotif tercepat dunia untuk gauge sempit (1067 mm) yakni 110 km/h. Pada saat itu rutenya meliputi Jakarta-Bandung, Jakarta-Surabaya, dan Surabaya-Jakarta. Selain itu kehandalannya terbukti karena lokomotif ini dapat melaju dengan kecepatan yang sama pada dua arah.
           Untuk itu pada zaman penjajahan Belanda terdapat istilah ‘VLUGGE VIER” yang artinya untuk rute Jakarta-Bandung dengan jarak tempuh 175 km, dijalankan 4 kali sehari dengan waktu tempuh 2 jam 45 menit dan kecepatannya 70 km/h. Kereta api cepat tersebut hanya berhenti selama 1 menit di Stasiun Karawang, Cikampek, dan Purwakarta. Sedangkan untuk istilah “VLUGGE VIJF” merupakan kereta api cepat untuk rute Surabaya-Malang dengan jarak 96 km dengan intensitas 5 kali dalm sehari. Ditempuh dengan waktu 1 jam 30 menit dengan kecepatan rata-rata 65 km/h. Selain itu, lokomotif C28 juga pernah menarik rangkaian kereta api ekpress Eendaagsche Express dan Java Nacht Express.
            Lokomotif C28 di Indonesia terdapat 58 unit dan dibuat oleh 3 pabrik yang berbeda, yakni Henschel, Hartmann dan Esslingen. Lokomotif C28 juga sangat berjasa besar dalam membantu hijrah rombongan Presiden Ir. Soekarno ke Yogyakarta pada tanggal 3 januari 1948.




C30

C30
Lokomotif C30 (SS 1769) di stasiun Prabumulih
          Lokomotif C30 adalah lokomotif uap buatan empat pabrik, yakni Hohenzollem, Borsig, dan Hanomag di Jerman, serta Werkspoor di Belanda. C30 memiliki panjang 10.796 mm, berat 31,6 ton, daya mesin 660 hp, dan dapat melaju hingga 75 km/jam. Lokomotif ini bersusunan roda 2-6-2T, artinya memiliki satu gandar depan (dua roda), tiga gandar penggerak (enam roda), dan satu gandar belakang (dua roda). C30 merupakan kelas yang nyaris hilang, karena telah banyak dipindahtangankan.

Sejarah

          Karena semakin besarnya volume angkutan penumpang dan barang, terutama di lintas Bandung-Banjar maka perusahaan kereta api Staatsspoorwegen mengimpor lokomotif-lokomotif uap yang dapat melaju menembus pegunungan di Tatar Sunda, Jawa Barat. Lokomotif C30 diimpor dari pabriknya pada tahun 1929-1930. Lokomotif C30 ini semula merupakan seri SS 1700 (mulai dari SS 1701-1793).
Depresi Besar yang melanda Eropa pada tahun 1929 memaksa SS untuk menunda membeli lokomotif baru untuk Sumatera. Untuk memenuhi kebutuhan angkutan di Sumatera, SS kemudian memindahkan 23 unit C30 ke Sumatera Selatan dan 3 unit ke Sumatera Barat. Lokomotif ini merupakan lokomotif tipe universal dan dapat dioperasikan di lintas utama maupun cabang dan cocok untuk menarik kereta penumpang dan barang.
            Pada masa pendudukan Jepang, 3 lokomotif C30 dibawa ke Sumatera untuk jalur kereta api Muaro-Pekanbaru (beroperasi 1943-1945), untuk angkutan batu bara. Selain itu, empat lokomotif C30 dibawa ke Kamboja dan tujuh C30 dijual ke Indocina (tetapi tidak tahu tepatnya di negara mana).
Saat ini tersisa C3065 dan C3082. C3065 buatan Werkspoor dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah, sedangkan C3082 dipajang di Lubuklinggau, Sumatera Selatan.




C53

C53  
Salah satu armada lokomotif SS, lokomotif kelas 1020 (C53)
  
         Lokomotif C53 adalah nama salah satu lokomotif uap di Indonesia yang diproduksi oleh pabrik Werkspoor, Belanda. C53 memiliki panjang 20.792 mm, daya mesin 1.200 hp, berat 109,19 ton, dan kecepatan maksimum 90 km/jam. Awalnya C53 merupakan lokomotif berkode SS 1001-1020. Loko ini dikenal sebagai loko yang sukses, sekaligus loko paling bermasalah dalam pengoperasiannya. Loko ini berpengalaman menarik kereta api ekspres.

Sejarah pengoperasian

         C53 diimpor dari pabriknya, pada tahun 1918-1922. Lokomotif ini berjumlah 20 unit pada awalnya. C53 telah berpengalaman menarik kereta-kereta ekspres, seperti Eendaagsche Express dan Nacht Express. Kereta api Eendaagsche Express diluncurkan pada tanggal 1 November 1929, sedangkan Nacht Express diluncurkan pada tanggal 1 November 1936. Waktu tempuh kereta api Eendaagsche Express saat diluncurkan adalah 13 jam 30 menit, kemudian dipersingkat menjadi 11 jam 27 menit pada tahun 1939 (sama dengan waktu tempuh kereta api Bima saat ini).

          Werkspoor memproduksi lokomotif C53 dalam rangka memperkukuh armada SS berupa lokomotif dengan empat silinder compound. Lokomotif ini ternyata jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan karena Werkspoor belum berpengalaman dalam memproduksi lokomotif dengan empat silinder compound. Kemungkinan besar SS memilih pabrik ini dengan alasan nasionalisme. Sepuluh tahun setelah diimpor, SS kemudian memasangkan smoke deflector yang dibuat khusus untuk menciptakan arus udara yang mengangkat asap keluar dari cerobong sehingga tidak menempel pada bodi lokomotif dan mengganggu pandangan masinis.
           Secara teknis kinerja C53 kurang memuaskan. Ternyata, lokomotif ini akan berguncang jika dipacu dengan kecepatan 90 km/jam. Pada tahun 1931, lokomotif ini berguncang keras setelah dipacu dengan kecepatan 100 km/jam. Padahal loko dengan empat silinder compound ini diharapkan dapat memberikan kestabilan ketika berlari dengan kecepatan tinggi. Lokomotif ini tetap dipertahankan sebagai loko penarik kereta ekspres dengan menanggung biaya operasional yang sangat mahal.
           Pada dasawarsa 1970-an, C53 digunakan hanya untuk kereta lokal saja, sampai akhir masa dinasnya. Kini tersisa C5317 yang dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah.



 

CC50

CC50

          Lokomotif CC50 adalah lokomotif uap jenis mallet yang pernah dimiliki oleh Java Staatsspoorwegen. Lokomotif ini diproduksi oleh Werkspoor, Belanda dan SLM, Swiss. Lokomotif ini memiliki susunan gandar (1C')C'.

Sejarah

          Tahun 1927, Java Staasspoorwegen (JSS) mulai mendatangkan lokomotif uap CC50. Sebanyak 30 lokomotif langsung dipesan dari beberapa pabrik di Eropa seperti : Werkspoor Belanda dan Schweizerische Lokomotiv-und Maschinenfabrik Swiss. Jalur menanjak dan berbukit-bukit, seperti CIbatu-Cikajang-Garut dengan mudahnya dilalui oleh lokomotif CC50. Lokomotif yang telah teruji bisa melewati kesulitan yang tidak dimiliki lokomotif lain. Antara lain mampu menarik rangkaian seberat 1.300 ton dengan kecepatan 55 km/jam juga mampu membelok di tikungan tajam.
          Dengan semua kelebihan yang dapat dipenuhi oleh CC50, maka dipergunakanlah lokomotif ini di jalur Purwakarta, Cibatu, Purwokerto, Ambarawa, dan Madiun Bahkan Cibatu merupakan salah satu pangkalan utama semua lokomotif Mallet.
          Namun lokomotif ini tak bisa menghindar tuntutan zaman. Kebijakan rasionalisasi lokomotif uap ke lokomotif diesel, membuat CC50 harus purna tugas pada tahun 1982. Keberadaannya tergusur dan tergantikan oleh CC200, lokomotif diesel pertama yang diimpor oleh DKA (Djawatan Kereta Api). Berdasarkan buku PNKA Power Parade, AE. Durrant, persebaran lokomotif CC50 pada tahun 1969-1971 terdapat di :
          CC5001 menjadi saksi bisu di Museum Transportasi TMII-Jakarta. CC5029 di Museum KA Ambarawa dan CC5030 yang tinggal potongan kepalanya saja di Dipo Lokomotif Cibatu. Sebenarnya ada satu lokomotif lagi yang dikirim ke Sumatera Selatan pada tahun 1970-an, namun nasibnya tidak diketahui rimbanya.




D14

D14

          Sebelum lokomotif listrik (WH 3200) dan KRL/EMU merajai jalur Jabotabek, lokomotif D14 sempat menjadi primadona jalur tersebut. Dengan dibangunnya jalur elektrifikasi Jabotabek pada tahun 1925-1930, peran lokomotif uap D14 pun secara perlahan mulai tergantikan.
          Lokomotif yang didatangkan oleh Staatsspoorwegen (SS) ini berasal dari dua pabrikan yang berbeda. Lokomotif D14 bernomor 01 sampai 12 buatan, Hanomag, Hannover, Jerman, sedangkan yang bernomor 13-24 buatan Werkspoor, Belanda. Tahunnya pun berbeda, yaitu buatan tahun 1921 untuk D14 bernomor 01-12, dan tahun 1922 untuk yang bernomor 13-24. Perbedaaan lainnya ada pada nomor asli pabrikan. Yaitu nomor 9644-9655 untuk D1401-12, dan nomor 499-510 untuk D1413-14.
          Desain lokomotif D14 yang ringkas ini cocok dioperasikan di lintas lokal dan jalur pegunungan. Jalur Bogor-Sukabumi-Cianjur hingga Bandung kini tinggal kenangan. Terlebih dengan ditutupnya jalur Bogor-Sukabumi pada tahun 2006. Jalur kenangan itulah yang merupakan lintasan utama lokomotif berbahan baker batubara ini. AE Durrant dalam bukunya “Indonesian Steam Lokomotives In Action”, menampilkan foto kenangan D1413 ketika keluar dari mulut Terowongan Lampegan dari Jakarta menuju Cianjur dan Bandung.
D14 adalah tipe lokomotif bersistem superheated terkenal di jalur pegunungan untuk kereta api penumpang kelas campuran. Sesekali, lokomotif bertipe gander 2-8-2T ini juga melayani kereta langsir. Total ada 23 lokomotif D14 yang ada di Indonesia dan tersebar di dipo lokomotif :
          Namun dari 24 buah lokomotif D14, pada tahun 1970, berdasarkan data PNKA Power Parade, AE Durrant menyebutkan, Perusahaan Nasional Kereta Api tersebut tinggal memiliki 23 unit D14. Jumlah itu kian menyusut, terlebih dengan kedatangan satu persatu KRL/EMU di lintasan JABOTABEK. Hingga saat ini tercatat, hanya tersisa satu lokomotif D14 bernomor 10 yang kini hanya membisu di pelataran Museum Transportasi TMII, Jakarta.


D52

D52 

          D52 adalah lokomotif uap multiguna  yang dioperasikan oleh Djawatan Kereta Api (DKA). Lokomotif ini merupakan satu-satunya jenis lokomotif uap jalur utama yang dipesan oleh Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan.

Sejarah

          Paska kolonialisasi, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia, salah satunya adalah Staatsspoorwagen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda. Perusahaan ini berganti nama menjadi Djawatan Kereta Api  (DKA). DKA mewarisi armada lokomotif, kereta serta gerbong yang berumur tua serta banyak yang rusak akibat perang. Untuk memodernisasi armada sarananya, DKA memesan lokomotif, kereta dan gerbong baru ke berbagai perusahaan di luar negeri. Salah satu lokomotif yang dipesan adalah lokomotif uap D52. Sebanyak 100 buah lokomotif uap bergandar 2-8-2 ini dipesan oleh pemerintah Indonesia. Seluruhnya dibuat oleh pabrikan Fried Krupp di Essen, Jerman, mulai tahun 1950.
          Fungsi lokomotif D52 di Jawa dititik beratkan sebagai angkutan penumpang dibanding angkutan barang. Sebagian masyarakat bahkan mengidolakan lokomotif ini lantaran kesetiaannya mengantar penumpang kemana saja. Seperti yang terjadi di lintas Madiun-Kertosono yaitu kereta api KA Rapih Dhoho. Sebaliknya di Sumatera Selatan, lokomotif ini difungsikan sebagai angkutan barang, yaitu untuk menarik rangkaian batubara.
          Lokomotif ini tersebar di 8 dipo lokomotif di Jawa dan Sumatera, yaitu :

Fitur dan Teknologi

          Sebagian orang membandingkan lokomotif ini dengan lokomotif Baureihe 41 milik perusahaan kereta api federal Jerman (Deustche Bundesbahn), yang dibuat oleh pabrik yang sama, dalam kurun waktu yang sama. lokomotif D52 memiliki fitur-fitur khas lokomotif buatan Jerman, seperti smoke deflector ukuran kecil, boiler standar, dan beberapa fitur lain.
          D52 boleh dikatakan sebagai lokomotif uap paling modern yang pernah dimiliki indonesia. Dengan diameter roda penggerak yang besar (1503 mm), Lokomotif ini dirancang agar dapat berlari dengan kecepatan maksimum hingga 90 km/jam, jarang dicapai pada saat itu. Hal ini membuat lokomotif D52 sangat cocok menarik kereta barang dan penumpang cepat di  dataran rendah, namun sangat buruk untuk jalur pegunungan (terutama di Jawa Barat), karena kecenderungannya untuk berjalan kencang.
         Selain itu, lokomotif ini juga memliki tekanan uap yang sangat tinggi (16 kg/cm3), melebihi  lokomotif mallet seperti DD52 sekalipun. Hal ini dapat berakibat fatal, karena kekeliruan dalam menangani ketel uap dapat menimbulkan ledakan yang mengakibatkan Peristiwa Luar Biasa Hebat (PLH). Contohnya adalah PLH yang melibatkan lokomotif D52084, saat menarik rangkaian gerbong barang dari Prupuk ke Purwokerto, diduga karena gangguan pada saluran uap lokomotif.

Konversi Bahan Bakar

          Pada awal kedatangannya, lokomotif D52 menggunakan 2 jenis bahan bakar. D52001 sampai D52050 menggunakan batu bara, sementara sisanya menggunakan minyak residu. Belakangan, antara tahun 1956 hingga 1965, sebanyak 21 lokomotif D52 berbahan bakar batu bara dikonversi menjadi lokomotif berbahan bakar minyak residu. Pengerjaan konversi dilakukan oleh  Balai Yasa Madiun (kini Pabrik PT. INKA). Sebanyak 29 lokomotif tetap tidak dikonversi, sepuluh diantaranya dikirim ke Sumatera.

Preservasi

          Kini lokomotif D52 hanya tersisa satu, yaitu bernomor D52099 di Museum Transportasi-TMII, Jakarta. Dari sumber di Indonesia Heritage Railway, dapat diperoleh informasi bahwa upaya revitalisasi sedang dilakukan untuk D52 sehingga bisa berfungsi kembali seperti sediakala.


E10

E10 

          Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust (SSS) pertama kali membangun jalur kereta api di pantai barat Sumatera pada tahun 1887 hingga 1896. jalur kereta api ini dipergunakan untuk menghela produk tambang batubara Ombilin ke pelabuhan Padang, yakni Teluk Bayur. Namun disadari bahwa meningkatnya produksi batubara Ombilin membuat lokomotif-lokomotif lama tidak memadai, apalagi untuk jalur yang berbukit-bukit. Maka didatangkanlah lokomotif-lokomotif yang lebih besar. E1016 adalah anggota kedua lokomotif uap bergigi untuk Sumatera Barat. Setelah datangnya tiga lokomotif seri D18 pada tahun 1913, tibalah 22 lokomotif E10 antara tahun 1921 hingga 1928, buatan pabrik Esslingen dari Jerman dan SLM (Schweizerische Lokomotiv-und Maschinenfabrik) dari Swiss. Kedua pabrik ini memang terkenal dengan lokomotif uap bergiginya. Bahkan lokomotif diesel elektik bergerigi BB204 yang belum lama ini disaksikan penggemar kereta api yang berkunjung ke Ranah Minang pun buatan SLM. Lokomotif E10 dipergunakan di jalur-jalur bergerigi di Sumatera Barat, antara Kayutanam hingga Batutabal, dan antara Padangpanjang-Bukittinggi-Payakumbuh. Medan yang berat, dengan tanjakan securam 8% ini menuntut lokomotif dengan daya yang besar. Lokomotif E10 memiliki empat silinder uap,dengan dua silinder khusus untuk menggerakan roda gigi.
          Saat ini, lokomotif E10 dapat kita temui di Museum Kereta Api Sawahlunto, Sumatera Barat, dengan nomor seri E1060. Loko ini biasa digunakan untuk menarik kereta wisata. Masih satu lagi E10 yaitu E1016 yang sekarang berada di TMII.



DD52

DD52 

         Lokomotif DD 52 adalah salah satu lokomotif mallet yang berada di Indonesia.
Walaupun lokomotif uap CC10 sudah dapat memenuhi kebutuhan angkutan barang di jalur kereta api yang melalui pegunungan di Jawa Barat namun perusahaan kereta api Staatsspoorwegen (SS) masih membutuhkan lokomotif dengan daya yang lebih kuat dari lokomotif yang sudah ada dan mampu berbelok dengan mulus pada tikungan yang tajam pada jalur pegunungan di Jawa Barat. Tugas ini dipercayakan kepada lokomotif DD50, DD51 dan DD52. Lokomotif uap DD50, DD51 dan DD52 merupakan lokomotif tipe Mallet generasi ketiga, keempat dan kelima yang beroperasi di [Indonesia]]. Ketiga seri lokomotif uap tersebut memiliki susunan roda 2-8-8-0. Lokomotif DD50 memiliki berat 133 ton, panjang 20737 mm dan mampu melaju hingga kecepatan 40 km/jam. Lokomotif DD51 memiliki daya berat 137 ton, panjang 20737 mm dan mampu melaju hingga kecepatan 40 km/jam. Lokomotif DD52 memiliki daya 1850 HP (horse power), berat 136 ton, panjang 20792 mm dan mampu melaju hingga kecepatan 50 km/jam. Dengan spesifikasi teknis yang seperti itu maka lokomotif DD50, DD51 dan DD52 merupakan lokomotif uap terbesar yang pernah beroperasi di Indonesia.
          Pada tahun 1916, SS memesan 8 unit lokomotif DD50 pabrik ALCO (American Locomotive Company, Amerika Serikat). Kemudian pada tahun 1919, SS kembali memesan 12 unit lokomotif DD51 ke pabrik ALCO dengan konstruksi yang sama dengan lokomotif DD50 namun dengan design teknis yang lebih baik. Lokomotif DD50 dan DD51 mampu melaju hingga kecepatan 40 km/jam. Pada tahun 1923, SS kembali memesan 10 unit lokomotif DD52 dengan konstruksi yang sama dengan lokomotif DD50/DD51 namun dengan kecepatan maksimum yang lebih tinggi yaitu 50 km/jam. Namun pemesanan lokomotif DD52 ini dilayangkan kepada 3 (tiga) pabrik lokomotif di Eropa (Hanomag/Jerman, Hartmann/Jerman and Werkspoor/Belanda).
          Yang patut disayangkan adalah DD50,DD51 dan DD52 saat ini hanya dapat dilihat fotonya saja karena semuanya sudah punah dirucat.






Sumber : Wikipedia




Tidak ada komentar:

Posting Komentar